Sunan Kalijogo

Semua orang di Indonesia, apalagi orang Islam, kenal dengan nama Sunan Kalijogo yang kecilnya bernama Raden Mas Said ini. Dikatakan dia adalah putera Adipati Tuban Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur yang beragama Islam. Silsilah Raden Sahur ke atas adalah Putera Ario Tejo III (Islam), putera Ario Tejo II (Hindu), putera Ario Tejo I, putera Ronggolawe, putera Ario Banyak Wide alias Ario Wiraraja, putera Adipati Ponorogo. Itulah asal-usul Sunan Kalijogo yang banyak ditulis dan diyakini orang, yang sebenarnya merupakan versi Jawa. Dua versi lainnya tidak pernah ditulis atau dijumpai dalam media cetak sehingga diketahui masyarakat luas (Imron Abu Ammar, 1992).

Kisah Sunan Kalijogo versi Jawa ini penuh dengan ceritera mistik. Sumber yang orisinal tentang kisah tersebut tidak tersedia. Ricklefs, sejarawan Inggris yang banyak meneliti sejarah Jawa, menyebutkan bahwa sebelum ada catatan bangsa Belanda memang tidak tersedia data yang dapat dipercaya tentang sejarah Jawa. Sejarah Jawa banyak bersumber dari catatan atau cerita orang-orang yang pernah menjabat sebagai Juru Pamekas, lalu sedikit demi sedikit mengalami distorsi setelah melewati para pengagum dan penentangnya.

Namun demikian sebenarnya Sunan Kalijogo meninggalkan dua buah karya tulis, yang salah satu sudah lama beredar sehingga dikenal luas oleh masyarakat, yaitu Serat Dewo Ruci, sedang yang satu lagi belum dikenal luas, yaitu Suluk Linglung. Serat Dewo Ruci telah terkenal sebagai salah satu lakon wayang. Sunan Kalijogo sendiri sudah sering menggelar lakon yang sebenarnya merupakan kisah hidup yang diangan-angankan sendiri, setelah kurang puas dengan jawaban Sunan Mbonang atas pertanyaan yang diajukan. Sampai sekarang Serat Dewo Ruci merupakan kitab suci para penganut kejawen, yang sebagian besar merupakan pengagum ajaran Syekh Siti Jenar yang fiktif tadi.

Kalau Serat Dewo Ruci diperbandingkan dengan Suluk Linglung, mungkin para penganut Serat Dewo Ruci akan kecelek (merasa tertipu). Mengapa demikian ? Isi Suluk Linglung ternyata hampir sama dengan isi Serat Dewo Ruci, dengan perbedaan sedikit namun fundamental. Di dalam Suluk Linglung Sunan Kalijogo telah menyinggung pentingnya orang untuk melakukan sholat dan puasa, sedang hal itu tidak ada sama sekali dalam Serat Dewo Ruci. Kalau Serat Dewo Ruci telah lama beredar, Suluk Linglung baru mulai dikenal akhir-akhir ini saja. Naskah Suluk Linglung disimpan dalam bungkusan rapi oleh keturunan Sunan Kalijogo. Seorang Pegawai Departemen Agama Kudus, Drs Chafid mendapat petunjuk untuk mencari buku tersebut, ternyata disimpan oleh Ny. Mursidi, keturunan Sunan Kalijogo ke-14. Buku tersebut ditulis di atas kulit kambing, oleh tangan Sunan Kalijogo sendiri menggunakan huruf Arab pegon berbahasa Jawa. Tahun 1992 buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Sebagai tambahan, pada waktu Sunan Kalijogo masih berjati diri seperti tertulis didalam Serat Dewo Ruci, murid-murid kinasih-nya berpaham manuggaling kawulo gusti (seperti Sultan Hadiwidjojo, Pemanahan, Sunan Pandanaran, dan sebagainya), sedang setelah kaffah dengan tauhid murni, Sunan Kalijogo mengutus muridnya yaitu Joko Katong, yang ditugaskan untuk mengislamkan Ponorogo. Joko Katong sendiri menurunkan tokoh-tokoh Islam daerah tersebut yang pengaruhnya amat luas hingga sekarang, termasuk Kyai Kasan Bestari (guru R. Ng. Ronggowarsito), Kyai Zarkasi (pendiri PS Gontor), dan lain-lain

0 comments:

Post a Comment